MENGENAL SOSOK AISYAH SULAIMAN
Pulau Penyengat – Tanjungpinang (Kepulauan Riau), pada tahun 1870-an lahirlah seorang tokoh Wanita yang paling berani berbicara tentang persetaraan gender yang bernama Aisyah Sulaiman yang memiliki nama asli Raja Aisyah Sulaiman. Melalui beberapa karyanya, Raja Aisyah dianggap sebagai feminis dalam kesetaraan gender. Beliau merupakan Cucu dari seorang Penulis besar, Raja Ali Haji, yang juga merupakan seorang Pahlawan Nasional. Raja Ali Haji terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu dan Bahasa Melayu standar itulah yang pada Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 ditetapkan sebagai bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia.
Raja Aisyah Sulaiman dilahirkan dalam keluarga bangsawan, jadi ia merupakan sebuah kelebihan yang membolehkan dirinya mendapat akses ilmu serta mampu mengarang sejak usia muda. Walau bagaimanapun, Raja Aisyah tidak tenteram hidupnya kerana keadaan kompleks istana dan jiwanya ingin bebas. Apatah lagi, dia sering diasak dengan masalah perkahwinan dan adat resam yang menyekat kebebasan wanita. Kedudukan wanita sangat daif dalam masyarakat patriaki Melayu pada waktu itu walaupun sudah melalui proses defeudalisasi.
Sejak usia muda, Aisyah Sulaiman sudah menulis, hanya saja tradisi saat itu menuntut untuk menyembunyikan jati diri seorang pengarang/penulis, oleh karena itu sulit sekali untuk menemukan karyanya yang ditulis pada usia belasan.
Aisyah Sulaiman menikah dengan Raja Khalid Hitam yang merupakan saudara sepupunya, Raja Khalid Hitam juga seorang penulis diantara karyanya : syair perjalanan Sultan Mahmud Lingga ke Johor yang diterbitkan pada tahun 1893 dan dan Thamaratul Matlub fi Anwil Kulub yang diterbitkan tahun 1896. Selepas menikah, keinginan Raja Aisyah untuk terus menulis tetap tidak surut. Bahkan ketika Raja Aisyah harus mengikuti suaminya ke Singapura pada Februari 1911 karena terjadi suksesi di Kesultanan Riau Lingga antara Sultan Abdul Rahman dan Belanda. Pada tahun 1913 Raja Khalid Hitam berangkat dari Singapura ke Jepang untuk menggalang dukungan
Pada 11 Maret tahun 1914 Raja aisyah mendengar kabar bahwa Raja Khalid Hitam Meninggal Dunia di tokya – jepang. Raja Aisyah tidak percaya akan kabar tersebut, sehingga Ia tetap menyajikan makanan dan minuman untuk menunggu suaminya yang memang biasa meninggalkan rumah selama beberapa hari bahkan minggu. Ketidakpercayaan Aisyah Sulaiman terhadap kematian suami tercintanya juga tergambar dalam Syair Khadamuddin:
Beberapa Kabilah bersamanya itu
Berjalan darat ke negeri ratu
Tiba-tiba datang perompak di situ
Menyamun merampas tiada tentu
Ada melawan ada yang lari
Khadamuddin muda bestari
Bersama-sama membawa diri
Di suatu gua di dalam albari
Syahdan adapun mereka itu yang lari
Ada setengah balik ke negeri
Mendapatkan Khadamuddin ampunya isteri
Berkabarkan suaminya dibunuh pencuri
Dengan dalilnya bukan suatu
Tiap-tiap orang mensaksikan begitu
Sahlah mati saudagar itu
Dibunuh penyamun di atas batuâ€
Raja Khalid Hitam adalah juga seorang pedagang. Raja Khalid Hitam mempunyai kedai di Singapura yang menjual barang-barang dalam bentuk eceran kepada orang-orang Jepang yang kala itu sudah ramai di nusantara. Tampaknya Raja Aisyah menggunakan status saudagar ini untuk menggambarkan suaminya dalam Syair Khadamuddin. Dalam Syair Khadamuddin dikisahkan tentang seorang saudagar yang meninggal karena dibunuh perompak.
Dalam karirnya sebagai sebagai pengarang. Aisyah Sulaiman menghasilkan empat buah karya, yaitu Hikayat Syamsul Anwar, Hikayat Khadamuddin yang di terbitkan pada tahun 1926 M, Hikayat Syarif Al-Akhtar, dan Syair Seligi Tajam Bertimbal